“MERAJUT PUISI MENGOKOHKAN JATI DIRI”

Diseminarkan oleh: Afrizal Malna Ditulis kembali oleh:
Nur Khusniyati (BSA) Puisi bukanlah milik suatu kaum, namun puisi adalah milik kita semua. Semua orang berhak terhadap puisi, semua orang berhak membuat puisi, bukan karena apa bukan karena siapa namun lebih karena puisi adalah ekspresi suatu emosi dan perasaan yang muncul dari dalam diri manusia dan semua manusia pasti memiliki emosi.

Kedepan mungkin akan ada semacam suatu gerakan untuk memberlakukan puisi bukan lagi dari dunia sastra. Puisi merupakan suatu memori yang tersimpa. Puisi semakin tidak ada hubungannya dengan bahasa dan sastra.

Dia sesuatu yang melekat pada faktor bawahan kita sejak lahir, bersifat organik dan natural. Fenomena yang banyak terjadi di Indonesia adalah para penyair sering menjaga tradisi puitik mereka dengan personifikasi seorang ibu dan perempuan, walaupun kebanyakan dari mereka adalah laki-laki.

Hal itu wajar karena ibu dan perempuan adalah sosok yang memiliki ikatan batin dan emosi yang kuat dengan mereka.. Karena ditarik dari berbagai kepentingan, puisi menjadi tercabut dari ruhnya. Fenomena yang paling umum di Indonesia misalnya mereka menulis puisi untuk dikomersilkan.

Menulis puisi untuk redaktur berharap akan diterbitkan di suatu kolom berita atau dicetak menjadi sebuah antologi puisi. Sebenarnya redaktur tidak akan bertanggung jawab pada puisi, mereka hanya bertanggung jawab dengan kedudukan mereka, mereka tidak mau mengambil resiko, sehingga terkadang mereka tidak mau membaca puisi-puisi pendatang baru yang ditulis oleh puitikus-puitikus yang masih belum ternama.

Puisi adalah alat kritik sosial. Kedudukannya menjadi penting untuk melawan penyimpangan-penyimpangan pemerintahan, ketidakadilan, penindasan, dominasi modal, kapitalisme, monopoli dan sebagainya. Puisi juga untuk merayakan suatu kebahagiaan, merayakan suatu moment dan merekam suatu fenomena.

Ketika kita mulai sibuk membuat hubungan-hubungan yang melemahkan kita atau hubungan-hubungan yang menyakiti kita maka puisi adalah tempat untuk kita kembali. Sastrawan-sastrawan angkatan pujangga baru seperti Khairil Anwar dan Sutarji Kalsum Bahri menggunakan puisi sebagai alat untuk membuang kata-kata saat mereka tidak bisa melakukan apa-apa dan merasakan penat dan sesak dengan keadaan saat itu. Terkadang kita cenderung curiga dengan puisi-puisi kontemporer.

Puisi dapat ditarik menjadi fenomena dunia domestik yang di dalamnya penuh dengan hubungan yang hiruk-pikuk. Seorang penyair akan membuat diplomasi antara dunia internal dan dunia eksternal penyair, sehingga sesuatu yang ditangkapnya akan menjadi sesuatu yang lebih berarti. Penyair masa kini banyak mengambil gejala-gejala menarik dunia eksternal sebagai objek kajiannya.

Namun tidak jarang karena tujuan itu mereka menceburkan diri mereka dengan bergaul di dunia luar tidak untuk mendapatkan sesuatu tapi untuk menyesatkan dirinya sendiri untuk dibunuh dan untuk tersesat. Apakah dunia luar itu adalah identitasnya? Sehingga setiap kali dia di luar orang akan bertannya “kamu itu siapa?”.

Berbeda dengan para penyair jaman dahulu, mereka menceburkan dirinya di dunia luar untuk memenangkan dirinya dan memperkenalkan identitasnya. Mereka menggunakan mitos-mitos dan narasi-narasi dalam menyampaikan puisinya. Berbeda dengan puisi kontemporer, para sastrawannya menganggap mati atau hidup itu sudah tidak ada artinya.

Mereka menggunakan bahasa-bahasa sebagi aktor dan meramu bahasa secara apa adanya. Puisi-puisi yang menggambarkan demonstrasi-demonstrasi emosi. Sejarah sastra kita diringkus dengan kekuasaan.Sebuah puisi adalah sebuah puisi. Apalagi jika puisi ditempatkan dalam suatu masa maka puisi itu bisa dibakar sebuah wacana. Kontroversi dalam sastra itu bukan merupakan kontroversi, namun itu merupakan dua sisi yang hedonis yang estetis. Puisi tidaklah harus terkungkung dalam konvensi-konvensi sosial.

Bahkan dia harus bisa berdiri sendiri dengan bebas tanpa menunggangi suatu kepentingan. “Apa itu puisi?” adalah pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan puisi. Puisi itu membutuhkan horoskop atau horizon bukan teori. Puisi tidak ada hubungannya dengan akademik.

Naik gunung, berlayar, menyelam, menonton teater, menonton bioskop, bergaul dengan teman, mencintai, membenci, terjatuh, terluka, kecewa, dll adalah pengalaman yang kita rasakan dan kita alami. Saya tidak menulis dengan hanya tangan saya. Saya menulis dengan pengalaman yang saya alami.

Jika menggambarkan panas, saya harus bertannya pada tubuh saya tentang bagaimana panas. Ketika kaki saya terkena paku dan berdarah, saya bertannya pada tubuh saya tentang apa yang saya rasa. Saya lebih percaya dengan tubuh saya dari pada dengan pikiran saya.

Ada sebuah ruang dalam kata-kata. Ruang itu memiliki dimensi multi makna. Puisi tidak pernah bisa mati. Ruang kreatif kita menjaga sesuatu dalam diri kita yang tidak perlu didefinisikan, itu adalah puisi. Puisi kalau dia didefinisikan, dia akan menjadi sebuah kekuasaan.

Lalu kenapa puisi itu tidak bisa menjadi komonditi? Apa sebenarnya puisi itu? Puisi itu janganlah didefinisikan. Puisi itu adalah sesuatu, bagaikan udara, embriologi, tubuh, ruh dan nyawa. Puisi itu janganlah dikebiri dengan konvensi bahasa dan jangan juga dikebiri dengan konvensi sastra.

Puisi ya puisi itu sendiri. Puisi merupakan pengalaman diri sendiri, pengalaman tubuh, rohani, ruh dan spiritual. Indonesia adalah negara yang multi etnik, suku, bahasa dan budaya.

Saya sekarang banyak berpikir dengan tradisi puitik di masyarakat kita. Saya pernah ke Toraja yang setiap pohon besar yang ditutupi ijuk itu berarti kuburan bayi yang mati. Mbah Marijan sang penjaga gunung, grebek Suro di Jogja, Ngaben di Bali, dll merupakan salah satu tradisi puitik negri ini yang sangat beragam, luas, unik, dan heterogen.

Masakan-masakan Indonesia yang dimasak oleh prempuan juga jamu-jamuan, tari-tarian, ritual-ritual kelahiran, dll merupakan tradisi-tradisi puitik Indonesia yang banyak dijaga oleh perempuan. Di jaman sekarang tradisi-tradisi puitik itu diklaim oleh individu-individu, bukan lagi ikatan-ikatan masyarakat. Kita semua bisa menulis apapun karena teks itu bisa mengejar kita sendiri.

Merayakan memori itu menjadikan puisi itu hidup, mulai dari melahirkan sampai menyusui, perjalanan mulai dari kecil sampai tua rentah, tentang memasak, tentang berkerja, tentang merawat anak atau tentang saat kita rebahan di pangkuan ibu.

Wanita adalah orang yang paling memiliki pengalaman yang lebih komplek dari laki-laki, jadi wanita adalah orang yang paling menguasai sastra dan orang yang paling berhak untuk bersastra, karena kompleksitas pengalaman hidupnya. Jika ada pertanyaan tentang “bagaimanakah cara memaknai puisi?” maka saya akan mengtakan bahwa saya tidak pernah membaca puisi untuk mengartikannya.

Menurut saya puisi adalah sebuah arsutektur. Puisi itu untuk menguak tabir arsitektur yang ada di baliknya. Jadi puisi itu indah karena dirnya sendiri bukan karena didefinisikan.

Comments